Liputan6.com, Jakarta Wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Isu ini bukan hal baru dalam politik Indonesia.
Gagasan serupa sempat mengemuka pada era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh politik, termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, kala itu.
Pada masa pemerintahan Jokowi, usulan ini muncul seiring evaluasi terhadap pelaksanaan pilkada langsung yang dianggap memiliki sejumlah kelemahan, seperti tingginya biaya politik, rawannya praktik politik uang, dan konflik sosial di masyarakat.
Bambang Soesatyo, yang kerap disapa Bamsoet, beberapa kali mengusulkan wacana ini dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPR.
Ia menyebut bahwa pemilihan melalui DPRD bisa menjadi solusi untuk mengurangi biaya politik yang tinggi. Bamsoet berargumen, proses politik yang lebih efisien dapat membantu menekan potensi korupsi di kalangan pejabat publik.
Pada 10 Oktober 2022, para pimpinan MPR kala itu sempat bertemu Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Mereka membahas wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (pilkada) agar tak lagi bisa dicoblos langsung rakyat, melainkan lewat DPRD lagi.
Terbaru, Presiden Prabowo Subianto kembali menyuarakan wacana ini dengan salah satu alasan jika calon kepala daerah dipilih DPRD bisa lebih efisien. Anggaran negara pun bisa dimanfaatkan untuk hal lain.
Namun, wacana ini kembali menuai pro dan kontra. Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad berpendapat, wacana lama ini menimbulkan resistensi yang cukup besar. Dari studinya, banyak masyarakat yang menolak.
“Jadi sebenarnya wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD sudah lama disuarakan sejumlah elite, tetapi gagal terus. Terutama, misalnya, resistansi dari publik sangat besar. Dari studi yang kami lakukan itu orang yang tidak setuju terhadap gagasan menghapus pilkada langsung itu besar sekali di masyarakat,” kata Saidiman saat dihubungi, Jumat (13/12/2024).
Saidiman menilai, gagasan pilkada dipilih DPRD adalah bentuk dari fenomena di kalangan elite karena lelah berkompetisi di antara mereka. Sehingga, ada keinginan suatu penyelesaian di tingkat elite layaknya ciri khas orde baru.
“Wacana ini memang khas elite dan menjadi lebih kuat karena semacam ada semangat elite kita untuk mengembalikan mindset orde baru, di mana penyelenggaraan pemerintahan itu dilakukan di tingkat elite saja, publik tak diberikan kesempatan. Jadi itu mindset lama dan menguntungkan elite utama, jadi mereka menunjukkan siapa calon kepala daerah,” ujar Saidiman.
Kepala Daerah Dipilih DPRD Untungkan Elite dan Rugikan Rakyat
Saidiman menyatakan, wacana kepala daerah dipilih DPRD jelas merugikan, karena rakyat tidak bisa menentukan atau mengevaluasi langsung apakah seorang kepala daerah baik atau tidak. Apakah calon kepala daerah layak atau tidak untuk memimpin daerahnya.
“Jadi evaluasinya tergantung kepada elite. Itu menurut saya akan sangat merugikan, karena pada kepala daerah tidak akan bisa bekerja maksimal karena mereka untuk bisa terpilih kembali adalah orientasinya menyenangkan para elite di atas, ketua ketua partai,” ucap Saidiman.
“Saya kira kepentingan publik menjadi nomor dua, kepentingan elite yang utama. Jadi orientasinya akan berubah dan akan merugikan masyarakat,” tegasnya.
Saidiman tidak sependapat bila pilkada langsung menyebabkan pemborosan keuangan negara. Padahal, dengan kontrol publik, korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa diawasi.
“Dengan ada kontrol publik, pembangunan itu jadi lebih efektif. Korupsi mungkin bisa ditekan karena ada kontrol publik langsung, jadi publik dibiasakan mengontrol pemimpinnya sampai di tingkat lokal. Itu bagus untuk meningkatkan transparansi,” jelasnya.
Menurut Saidiman, tidak benar juga politik uang marak terjadi karena pemilihan langsung. Sebab, bila tak ada pemilihan langsung, uang yang beredar justru akan pindah ke elite.
“Mereka akan menyogok ketua-ketua partai. Kalau selama ini politik uang iya, tapi itu kan langsung ke masyarakat,” ujar Saidiman.
“Dan ongkos mahal apa yang dikatakan penyelenggaraan pilkada itu biasanya karena ulah dari partai-partai sendiri. Kan mereka pakai politik uang, dan seterusnya itu. Artinya bukan pada sistemnya, tapi pada mindset si partainya,” sambungnya.
Watak Prabowo yang Dinilai Sinis Terhadap Demokrasi
Saidiman menilai, wacana ini kembali mencuat karena ada ketidakinginan untuk kompetisi dan semua ditentukan elite. Contohnya, seperti munculnya koalisi gemuk di Pilkada 2024.
“Itu sudah muncul kan melalui misalnya koalisi besar, dan pertanyaan Pak Prabowo Subianto ini kan bukan hanya sekali ini dikatakan kan, berkali-kali dia agak sinis pada demokrasi. Menurut saya itu menunjukkan watak atau prestasi Pak Prabowo sendiri yang tidak terlalu sungguh-sungguh buat demokrasi,” ucap Saidiman.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com