Jakarta
–
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dihadirkan oleh pemerintah sebagai salah satu solusi dalam membantu meringankan pembiayaan perumahan. Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno sempat menyatakan bahwa Generasi Z akan kesulitan membeli rumah jika tidak mendapat bantuan pembiayaan seperti Tapera.
Adapun aturan tentang Tapera di Tanah Air mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera. Iuran Tapera rencananya akan diterapkan paling lambat tahun 2027 mendatang. Iuran Tapera akan memotong sebesar 2,5% gaji pekerja baik swasta maupun PNS, dan 0,5% ditanggung perusahaan.
Lalu, bagaimana tanggapan Gen Z soal ini?
Pekerja dari kalangan Generasi Z Yusuf Imron menilai penerapan iuran Tapera secara wajib tersebut justru akan memberatkan masyarakat. Hal ini ditambah lagi dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana ‘umat’ yang terbilang rendah.
“Menurut saya sebagai masyarakat, kebijakan tersebut memberatkan, ditambah ketidakpercayaan saya terhadap pengelolaan uang tersebut, dikhawatirkan malah dijadikan ladang korupsi,” kata Yusuf, kepada detikcom, Minggu (16/6/2024).
Hal tersebut berkaca pada sejumlah kasus korupsi pengelolaan dana masyarakat oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, dengan melihat besarnya tunjangan pemerintah, Yusuf malah berharap agar besarannya itu bisa dipangkas untuk mendukung Tapera tersebut jika memang benar-benar mau diterapkan.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa harga rumah di Indonesia setiap tahunnya semakin mahal hingga di luar nalar. Namun demikian, membeli rumah bukanlah prioritasnya saat ini sehingga iuran seperti Tapera belum dibutuhkannya.
“Sampai saat ini lebih milih mengontrak dulu sambil menabung beli cash. Nggak mau punya utang saja,” ujarnya.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Rizky Julianto pekerja Generasi Z lainnya. Ia tak menyetujui skema Tapera yang disebut-sebut tujuannya untuk mempermudah kepemilikan rumah tapi seakan-akan memaksa. Padahal menurutnya, Indonesia masih jauh dari kata siap untuk mengelolanya.
“Memang tujuannya untuk mempermudah kepemilikan rumah tapi seakan-akan ‘memaksa’ secara keseluruhan orang-orang untuk ikut iuran itu,” kata Rizky, dihubungi terpisah.
“Karena secara pengelolaan Indonesia masih jauh dari kata siap. Kalau kita benchmark sama negara-negara maju yang punya konsep kayak gitu dari pengeluaran pajak dan lain-lain, kita harus benerin sistem di pemerintahannya dulu,” sambungnya.
Sebagai seseorang yang bekerja di dunia konsultan bisnis, Rizky sering bekerja sama dengan pemerintah dan melihat langsung kondisinya seperti apa dalam hal pengelolaan. Ditambah lagi, kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah.
“Indonesia ini secara mayoritas ekonomi masih banyak di kalangan menengah ke Bawah, plus total penduduk yang banyak. Jelas ini jadi polemik buat kebijakan ini, dengan embel-embel statement generasi milenial/gen z susah buat punya rumah,” ujarnya.
Secara harga, Rizki tak menampik bahwa harga rumah kian mahal dan memberatkan dirinya yang belum memiliki aset rumah pribadi. Apalagi melihat kebutuhan rumah yang terus meningkat dan hanya bisa dijangkau kalangan tertentu.
Namun demikian, membeli rumah belum menjadi prioritasnya saat ini. Saat ini, Rizky memilih untuk menabung terlebih dulu dan membeli rumah dengan cash atau tunai kelak di masa mendatang.
“Masih menabung juga. Ada rencana beli, tapi belum dalam Waktu dekat ini. Maunya cash, dan belum merasa terbantu pakai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan lain-lain,” pungkasnya.
(shc/kil)