Jakarta
–
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bercerita tentang proses reformasi yang dilakukannya di Kementerian Keuangan. Hal ini salah satunya berkaitan dengan besaran tunjangan kinerja (tukin).
Sri Mulyani pun bercerita, sebelum dirinya menjabat di pemerintahan, ia sempat menduduki posisi sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEBUI). Pada kala itu, ia mengaku heran melihat gaji peneliti yang lebih mahal ketimbang Direktorat Jenderal Pajak.
“Gaji seorang peneliti, ini jauh lebih tinggi dari gaji Ditjen Pajak. Jadi saya bilang, kayaknya Ditjen Pajak kerjaannya luar biasa berat deh,” kata Sri Mulyani, dalam acara Peluncuran Buku Authorized Biography Sri Mulyani Indrawati NO LIMITS Reformasi Dengan Hati, di Gedung Dhanapala, di Jakarta, Jumat (20/9/2024).
“Kalau peneliti, bukannya yang satu susah yang satu gampang. Tapi ya, mestinya, kalau mereka dapat sekian, ya Ditjen Pajak kan yang tanggung jawabannya menentukan republik ini,” sambungnya.
Karena itulah, saat ia memasuki pemerintahan, ia mendapat saran untuk dilakukan reformasi. Disiapkan setidaknya tiga skenario kenaikan gaji dengan harapan dapat mengurangi korupsi dan menjaga keseimbangan. Diusulkanlah antara kenaikan 30%, 40%, 60%.
“Begitu saya lihat, oke, naiknya 30%, 40%, 60%. Waktu itu dijadiin nominal awal, gaji berapa kalau naik? Nah kalau cuma segini, saya tidak akan pernah bisa minta mereka banyak kerja dong, wong gajinya belum dua Minggu sudah abis,” ujarnya.
Karena itulah, muncul opsi untuk memperbesar menaikannya. Namun kali ini bukan dari gaji, tetapi dari tukin. Pada kala itu, disiapkan pilihan kenaikan 100%, 200%, hingga 300%. Sri Mulyani pun memilih kenaikan 300%.
“Tapi premisnya adalah kalau mereka kerja perutnya belum tenang, memikirkan anaknya sekolah tidak cukup segala macam-macam ya you cannot expect mereka bener. Tidak berarti mereka tidak korupsi juga,” kata dia.
“Makanya kita mengatakan itu adalah necessary condition tapi tidak sufficient. Jadi yang ini diberesin, sambil kita memperbaiki tadi, kinerja, performa, pengawasan, dan yang lain-lain, ya semuanya dikerjakan satu-satu,” sambungnya.
Namun demikian, keputusan tersebut pun mengundang respons negatif dari masyarakat lantaran hal ini berkaitan dengan uang publik. Juga dikhawatirkan apakah ini malah justru akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Padahal, menurutnya hal ini sudah dianggarkan setiap kementerian dalam bentuk honor rapat, kunjungan, dan pertemuan. Karena itulah, sebelumnya para PNS ini justru malah memanfaatkan perjalanan dinas atau rapatnya supaya bisa mendapatkan penghasilan yang besar.
“Jadi yang muncul adalah untuk dapat gaji segitu, dia pura-pura bikin apa, kemudian dapat amplop, pura-pura jalan. Birokrat itu menurut saya seharusnya decent and respectable. Kan kalau gajinya normal ya behaviornya normal, ya kalau kita kayak argometer taksi ya mereka jadi kayak tukang taksi,” ujarnya.
Hal inilah yang disinyalir menciptakan budaya pura-pura perjalanan dinas hingga meeting di luar kota, hanya untuk mendapatkan uang tadi. Karena itulah, ide untuk menaikkan tukin pun muncul.
“Jadi memang dulu itu yang disebut basic remuneration-nya aja memang belum dibuat. Makanya, Anda tidak bisa expect birokrasi itu bersifat normal. Karena memang dulu gajinya normal,” katanya.
(shc/fdl)