Masjid Tuha Indrapuri Saksi Sejarah peradaban Kerajaan hindu dan Perkembangan Islam di Aceh

Provinsi Aceh merupakan sebuah daerah yang memiliki kilas sejarah yang cukup menarik untuk kita telusuri. Dimana perjalanan sejarah dari kerajaan dan peradaban masyarakat Aceh dapat kita telusuri dari peninggalan cagar budaya yang hingga kini masih dapat dikunjungi dan tersebar di beberapa daerah.

Aceh Besar memiliki potensi wisata di banyak sektor. Sudah kita akui sektor wisata bahari di Kabupaten Aceh Besar seperti pantai Lampuuk, Lhoknga serta pantai-pantai lainnya telah menjadi destinasi wajib wisatawan di akhir pekan. Selain itu Aceh Besar juga kaya akan potensi wisata alam lainnya juga wisata kuliner daerah yang memanjakan lidah.

Namun bagi anda yang mencari destinasi wisata budaya untuk mempelajari sejarah Aceh, maka hal tersebut juga dapat anda temukan di Aceh Besar. Objek cagar budaya banyak dapat kita jumpai di wilayah kabupaten Aceh Besar. Hal ini mengingat kabupaten ini dulunya menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Kesultanan Aceh kala itu. Salah satu objek cagar budaya yang dapat menjadi salah satu referensi destinasi wisata budaya adalah Mesjid Tuha Indrapuri.

Masjid yang berada di kecamatan Indrapuri ini memiliki akses yang mudah untuk dikunjungi. Jika beranjak dari Kota Banda Aceh, anda memerlukan waktu setidaknya 30 menit menuju arah jalan Banda Aceh – Medan. Setibanya di wilayah Indrapuri, berbelok ke arah kiri melewati jembatan menyeberangi Krueng (sungai) Aceh. Setelahnya anda akan memasuki wilayah pasar tradisional indrapuri. Maka tibalah kita di Mesjid Tuha Indrapuri yang masih berada di wilayah Peukan (pasar) Indrapuri.

Jejak Sejarah

Masjid Tuha Indrapuri adalah sebuah bangunan bersejarah yang didirikan diatas bangunan candi dari kerajaan Hindu sekitar abad ke 12 Masehi. Meski saat ini provinsi Aceh dikenal luas sebagai daerah yang menjunjung tinggi penegakan syariat islam, dijuluki sebagai serambi mekkah namun dahulu di Aceh pernah berdiri sebuah Kerajaan Hindu, bernama Lamuri.

Masjid Tuha Indrapuri adalah bukti sejarah dari peradaban kerajaan Lamuri. Bangunan Masjid ini dulunya merupakan sebuah candi yang akhirnya dijadikan Masjid pada tahun 1618 Masehi. Juga sempat digunakan benteng dari Kerajaan Lamuri. Memiliki  luas 33.875 meter ini dikelilingi tembok reruntuhan atau bekas pondasi candi. Di lokasi pusat kerajaan ini, 25 km di arah timur Banda Aceh, terdapat beberapa candi, yakni Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri.

Reruntuhan Candi Indrapuri masih tersisa, berupa tembok yang kini mengelilingi bangunan Masjid Indrapuri. Candi tersebut diidentifikasi memiliki arsitektur khas Hindu.

Sebelum candi itu menjadi masjid, Kerajaan Lamuri disinggahi Tengku Abdullah Lampeuneuen (penyebar agama Islam asal Perlak) yang disertai Meurah Johan (putra mahkota Kerajaan Lingga). Kala itu, niat mereka berdua adalah mengajak Raja Lamuri dan penduduknya memeluk Islam.

Di tengah usaha mereka menyebarkan agama Islam, Kerajaan Lamuri mendapat serangan dari Bajak Laut asal China. Lamuri pun akhirnya tersudutkan oleh musuh yang ingin menjadikannya sebagai wilayah taklukan.

Tengku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan kemudian menawarkan bantuan pada Kerajaan Lamori yang sedang terdesak. Akhirnya, mereka berhasil menumpas pasukan bajak laut. Bahkan, hal itu menyebabkan Raja Lamuri ikut menganut agama Islam disertai para rakyatnya. Candi-candi Hindu yang sudah tidak digunakan untuk beribadah akhirnya rusak karena faktor alam. Akan tetapi, Candi Indrapuri masih sedikit menyisakan reruntuhan bangunannya. Di atas reruntuhan itu, Masjid Indrapuri dibangun pada 1618 Masehi.

Data Arkeologi

Dihimpun dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh Mesjid yang sempat menjadi pusat ibadah masyarakat yang kala itu beragama hindu mengambil nama Indrapuri yang terdiri dari dua suku kata yakni Indra dan Puri. Indra adalah salah satu dewa dalam pantheon Hindu, sedangkan puri bermakna tempat untuk pemujaan. Dalam konteks Hindu, Indrapuri bermakna tempat untuk pemujaan dewa Indra. Berdasarkan telaah nama menunjukkan adanya unsur Hindu yang terserap dalam masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh meyakini jika pada masa lampau masjid Indrapuri merupakan bangunan candi yang berubah fungsinya ketika Islam masuk ke Aceh. Masjid bersejarah ini pada tahun 1878 pernah dipakai sebagai tempat penobatan Sultan Aceh, Tuanku Muhammad Daud Syah.

Ketika berkunjung disini, kita dapat memperoleh informasi sejarah pendirian masjid dari keterangan yang telah disediakan oleh balai pelestarian cagar budaya Aceh.

Masjid ini dibangun dengan menggunakan kayu. Luas masjid 18,8 x 18,8 meter dan dibangun dengan 36 tiang yang didirikan diatas umpak atau landasan yang terbuat dari batu kali. Dari 36 tiang tersebut, empat diantaranya merupakan tiang utama (soko guru) berbentuk persegi delapan yang menyangga atap masjid. Masjid ini tidak memiliki jendela dan pintu. Sebuah tembok yang tidak disambung digunakan sebagai sarana untuk keluar dan masuk ke dalam masjid. Untuk mencapai ruangan masjid, harus melalui undakan pertama melewati tangga yang terbuat dari semen berjumlah 12 buah dengan lebar 6,60 m. Tinggi tangga keseluruhan 3,36 m. Dinding lapisan pertama memiliki ketinggian 1,76 m dan tebal 1,36 m.

 

Pintu masuk masjid berada di sebelah timur yang merupakan undakan pertama. Pada pelataran kedua, terdapat kolam yang berfungsi sebagai bak penampungan air yang digunakan untuk berwudhu. Mihrab terletak di sisi sebelah barat yang terbuat dari tembok setinggi pinggang orang dewasa. Di sisi mihrab tersebut, terdapat undakan yang berfungsi sebagai mimbar. Di sebelah utara masjid terdapat bangunan kecil bertingkat yang berfungsi sebagai menara yang dilengkapi sebuah kentongan.

Tiang penampil pada bangunan masjid berfungsi untuk menyokong keseluruhan konstruksi bangunan. Masing-masing tiang memiliki diameter 0,28 m. Bagian atas dihubungkan dengan balok yang dimasukkan ke dalam lubang yang dibuat di bagian atas tiang. Sistem ini disebut juga dengan sistem pasak.

Seluruh bangunan berkonstruksi kayu dengan beberapa ukiran tradisional bernuansa Arab. Kaligrafi yang dipahat berbunyi “Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam” dan angka tahun 1270 H. Selain itu juga terdapat kaligrafi berbunyi “La illah”. Dalam ajaran Islam, kalimat syahadat harus diucapkan lengkap, yakni “La ilaha illallah” tidak boleh hanya sepenggal. Kemungkinan pahatan kaligrafi ini tidak selesai pengerjaannya. Masjid beratap tumpang ini dibangun di atas tembok undakan empat lapis yang terbuat dari batu kapur bercampur tanah liat.

Masjid Tuha Indrapuri berbentuk piramida dengan atap bertingkat tiga ditopang oleh 36 tiang dan berdinding langsung dengan tembok bekas candi di masa era pra-Islam. Masjid Tuha Indrapuri sangat cocok menjadi destinasi anda yang ingin mencari lokasi wisata budaya di Aceh Besar. Masjid ini sendiri juga kerap dikunjungi wisatawan tidak hanya dari Aceh namun juga mereka yang datang dari berbagai daerah. Informasi dari masyarakat setempat, kerap juga adanya kunjungan dari wisatawan asing seperti Malaysia dan Brunei yang datang untuk mempelajari sejarah islam di Aceh.

Masjid Tuha Indrapuri saat ini masih digunakan masyarakat sekitar sebagai tempat beribadah. Jika ingin berkunjung kesini, lokasinya berada di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Lokasi masjid tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh-Medan, kurang lebih sekitar 150 meter memasuki persimpangan pasar Indrapuri. Masjid ini sendiri melalui surat keputusan 014/M/1999 pada 12 Januari 1999 secara resmi ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya.

Masjid Tuha indrapuri merupakan objek cagar budaya yang menawarkan wisata edukasi sejarah yang sejatinya layak untuk kita ketahui agar menambah wawasan mengenai perkembangan sejarah Aceh, khususnya perkembangan penyebaran agama islam di bumi serambi Mekkah. (ARP)

Penulis : Arif Rizky Pratama