SIMEULUE – Dalam politik tingkat desa, nepotisme sangat sering terlihat dilakukan oleh Kepala Desa (Kades). Karena kekuasaannya, Kepala Desa sering kali menunjuk aparat atau perangkat desa yang terikat dengan hubungan kekerabatan.
Salah satu jenis nepotisme yang kerap dipraktikkan kepala desa adalah nepotisme ikatan keluarga yang sangat jelas terlihat, yakni mendahulukan anggota keluarga dan kerabat dalam mengisi suatu jabatan atau mendapatkan proyek. Misalnya, kepala desa tersebut membuat keputusan dengan mengangkat adik kandung menjadi bendahara dan beberapa saudara dekat untuk mengisi jabatan di pemerintahan desa.
Apakah praktik Nepotisme yang dilakukan Kades tersebut melanggar undang-undang?, mari kita simak penjelasan berikut.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Dijelaskan bahwa nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Di samping itu juga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, juga melarang kepala desa untuk melakukan praktik nepotisme. Sebagaimana tertuang dalam pasal 29 ayat (2), kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu.
Sepertinya, undangan-undang itu terkesan dikangkangi oleh para oknum Kepala Desa. Padahal, dalam Undang-Undang Desa itu telah disebutkan, apabila larangan itu dilakukan, makaKepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis, bahkan sampai tindakan pemberhentian sementara dan dapat
dilanjutkan dengan pemberhentian.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan pemerintahan dilakukan berdasarkan prinsip supremasi hukum, dengan, demikian setiap perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus sejalan dengan hukum yang ada. Kondisi ini melahirkan sebuah antitesis bahwa perbuatan pemerintah yang di luar dari itu dapat termasuk bukan wewenang, melampaui wewenang, atau sewenang-wenang.
Soal kekuasaan, dalam istilah Lord Acton, dikenal ungkapan power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely, sehingga tanpa pembatasan kekuasaan maka arah yang dituju oleh pemerintahan hanya kepentingan pribadi dan golongan tertentu semata.
Dalam pemerintahan desa, posisi kepala desa bukan sebagai raja di wilayah tersebut, yang dapat menjalankan pemerintahan atas sekehendaknya saja, termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa.
Meskipun dalam proses penjaringan aparat pemerintah desa dijadikan alasan bahwa tak ada ketentuan yang melarang keluarga atau kerabat untuk mendaftarkan diri menjadi calon aparat desa, akan tetapi sebagai kepala desa bahkan diawasi camat harusnya mengetahui larangan dalam undang-undang yang telah diatur.
Namun, pada praktiknya yang lulus dalam seleksi aparat pemerintah desa tersebut merupakan kerabat dekat bahkan adik kandung oknum kepala desa itu sendiri. Seharusnya, dipastikan bahwa tes yang dilakukan harus benar-benar melalui mekanisme yang penuh transparansi tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme.
Peran Dinas DPMD dan Camat
Sinergitas antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebagai organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan masyarakat dan desa dengan pemerintah desa diharapkan terbangun dengan baik, dengan memaksimalkan kegiatan pendampingan dan supervisi agar kepala desa terpilih tidak asal-asalan dalam mengangkat aparat desa dari bagian keluarga atau kerabat dekat. Jangan sampai esensi pemerintahan desa bergeser dari yang seharusnya mendekatkan pelayanan kepada masyarakat justru menjadi mendekatkan penyalahgunaan wewenang dengan hadirnya nuansa raja-raja kecil di desa.
Selain itu, peran serta camat sebagai perangkat daerah yang mempunyai tugas di antaranya untuk membina dan mengawasi kegiatan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah dapat pula dilakukan dalam bentuk monitoring. Melihat fakta bahwa banyaknya oknum kepala desa yang melakukan praktik nepotisme tersebut. Sehingga kelengahan camat setempat dalam melakukan monitoring akan berdampak pada ketidak disiplinan kepala desa dalam menjalankan aturan terkait pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa.
Apakah Nepotisme Termasuk Tindak Pidana?
Lantas, apakah nepotisme termasuk tindak pidana? Benar, nepotisme adalah tindak pidana sebagaimana termaktub di dalam Pasal 22 Undang-Undang 28 Tahun 1999. Setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, apabila nepotisme tersebut ternyata merugikan keuangan negara atau memiliki unsur tindak pidana korupsi, maka dapat dijerat dengan pasal korupsi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (q)