Jakarta
–
Mantan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara(IKN) Bambang Susantono memandang saat ini Ibu Kota Nusantara (IKN) memiliki dua wajah. Apa maksudnya?
Maksud dua wajah itu adalah masyarakat tahu IKN kota yang modern. Namun, di sisi lain masih ada kehidupan yang timpang dari masyarakat lokal di balik gemerlapnya infrastruktur IKN.
“Kita ingin melihat IKN itu menjadi salah satu contoh. Tapi kan kita juga melihat bahwa sekarang ini ada dua wajah di IKN. Satu wajah modern, ditunjukkan kemarin 17 Agustus dan sampai akhir tahun. Satu lagi wajah kecamatan Sepaku, dengan 39.900 orang loh. Nggak sedikit lah. Dan itu saudara-saudara kita yang sudah ada di sana kan,” terang Bambang dia ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2024).
Menurutnya, dalam pembangunan IKN harus dipikirkan juga masyarakat yang sudah lebih dulu ada di sana, agar tidak hanya menjadi penonton di tengah pembangunan ibu kota baru di sana.
“Yang kita harus hormati mereka, kita harus tingkatkan mereka, supaya mereka nggak jadi penonton. Itu sebetulnya harus segera membalas antara fisik, yang menggah, monumental, di kawasan inti pusat pemerintahan, sama yang di sekitar,” jelasnya.
Selain itu, Bambang menilai pembangunan IKN ini tidak dari nol. Pasalnya, di kawasan itu sudah ada penduduk asli yang diperkirakan mencapai 214.000 orang.
“Jadi kalau orang bilang ada satu miskonsepsi. IKN itu mulai dari nol, menurut saya nggak. Sudah ada orang di sana. IKN itu sudah memiliki 214.000 orang,” ucapnya.
Bambang juga berharap pembangunan IKN diharapkan bukan sekedar membangun sebuah properti, tetapi bisa berdampak pada warganya sebagai penghuni ibu kota.
“Saya ingin melihat balance, lebih balance antara fisik dan hal-hal yang bersifat sosial, kultural, masyarakat. Kita ini membentuk membangun kota, bukan membangun seperti developer. Bukan membangun properti saja, bukan. Yang kita bangun kota. Kalau kota itu intinya adalah warga kota, masyarakatnya yang dibangun,” tuturnya
Bambang menambahkan sekaligus mengingatkan jangan sampai Indonesia yang telah memindahkan ibu kotanya bernasib sama dengan Myanmar.
“Jadi kalau kita lihat, kita tidak ingin terjebak di dalam kesalahan seperti di Myanmar. Di mana Myanmar itu bagus, semuanya bagus gitu ya. Hotelnya ada, kemudian fasilitas pemerintahan bagus-bagus, ada dua lapangan golf, ada kebun binatang, segala macam. Tapi orangnya ngga ada. Dalam arti tidak terbentuk,” pesannya.
(ada/hns)