Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di NTB, Sahroni DPR Minta Polisi Buka Kasus Ini Secara Tuntas

Liputan6.com, Jakarta Seorang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual, hal ini menjadi banyak sorotan publik, di mana, tim Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mendatangi Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) untuk penyelidikan kasus tersebut.

Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyarankan, pihak kepolisian tidak terburu-buru menyimpulkan perkara.

“Karena kalau diikuti perkembangannya, jadi ada banyak sekali ragam versi yang muncul terkait kasus ini, ntah yang mana yang benar. Polisi jangan sampai terpengaruh, harus punya hasil penyelidikan yang firm. Jangan hanya dari sebagian sisi saja,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (4/12/2024).

Politikus NasDem ini pun berharap kasus ini segera mendapat penyelesaian yang berkeadilan. Terlebih, menurutnya kasus ini telah menyita banyak perhatian publik.

“Sekarang publik kan lagi bertanya-tanya, merasa banyak kejanggalan. Karenanya, polisi harus punya bukti-bukti dan rentetan kronologi yang lebih kuat. Biar penyelesaian kasus ini bisa berkeadilan sesuai fakta yang terjadi. Dan untuk mencapai itu, penyelidikan dan penetapan dalam kasus ini tidak boleh dilakukan secara gegabah,” ungkap Sahroni.

Dia pun yakin bahwa Polda NTB pastinya akan bisa menyelesaikan kasus ini dengan cepat dan cermat.

“Tapi saya yakin Polda NTB bisa tangani kasus ini dengan objektif dan cermat. Hasil akhir penyelidikannya harus kita percayai,” tutup Sahroni.

2 dari 3 halaman

Pria Disabilitas di NTB Jadi Tersangka Pelecehan Seksual

Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Syarif Hidayat di Mataram, Selasa (4/12/2024), membenarkan pihaknya kedatangan tim dari Bareskrim Polri untuk melihat penanganan kasus tersebut.

“Iya, benar. Kami kedatangan tamu dari Bareskrim Polri. Kami menerima baik dan kami jelaskan fakta kegiatan yang sudah kami lakukan,” kata Syarif.

Dia mengatakan pihaknya menjelaskan proses penanganan kasus itu kepada Tim Bareskrim Polri mulai dari tahap penyelidikan hingga penyidikan yang sudah menetapkan IWAS sebagai tersangka dan berkas kini telah masuk ke proses pelimpahan ke jaksa peneliti.

“Penanganan yang kami lakukan apakah sudah sesuai aturan dan sudah dilaksanakan? Apa saja langkah-langkahnya? Itu yang jadi poin pertanyaan tim Bareskrim datang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Syarif menyampaikan bahwa dalam penanganan kasus ini pihaknya terbuka kepada publik maupun lembaga pengawas kinerja penegak hukum internal maupun eksternal.

Bahkan, pada proses penyelidikan pihak kepolisian menjalin koordinasi dan meminta pendampingan dari komite disabilitas daerah (KDD), mengingat terduga pelaku dalam kasus ini seorang penyandang disabilitas.

Ia memastikan bahwa pihaknya mendukung adanya pengawasan ini dengan melihat hal tersebut sebagai bentuk transparansi penanganan hukum yang sudah berjalan sesuai prosedur.

“Jadi, kami di sini enggak mencari-cari, karena ini memang ada laporan, yang dilaporkan korban dan perempuan yang menjadi korban ini dilindungi secara haknya, itu ada diatur dalam undang-undang juga,” ucap dia.

Begitu juga komentar warga di media sosial tentang penanganan kasus ini yang pada akhirnya menjadi viral usai mengetahui seorang penyandang disabilitas tanpa dua lengan bisa menjadi tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual.

Syarif melihat komentar tersebut sebagai bahan koreksi kinerja pihak kepolisian, khususnya dalam penanganan kasus IWAS yang terkesan baru terjadi di Indonesia.

“Kami melihat itu (komentar) sebagai koreksi bagi kami, sebagai masukan dan semangat bagi kami,” katanya.

Menurut dia, pihak kepolisian harus menarik pembelajaran dari kasus ini dengan memberikan informasi penanganan yang lebih mudah dipahami publik.

IWAS yang kini tercatat sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Mataram menjadi tersangka kasus dugaan pelecehan seksual berdasarkan hasil gelar perkara yang telah menemukan sedikitnya dua alat bukti.

Alat bukti tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan dua korban, saksi, hasil visum korban, dan keterangan ahli psikologi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Penyidik dalam berkas menyatakan tersangka IWAS sebagai penyandang disabilitas tunadaksa telah melakukan perbuatan pidana asusila dengan modus komunikasi verbal yang mampu mempengaruhi sikap dan psikologi korban.

Sehingga dalam berkas, penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

 

3 dari 3 halaman

Masa Penahanan Tersangka Diperpanjang

Sementara itu, Penyidik Polda NTB memperpanjang masa penahanan tersangka kasus dugaan pelecehan seksual berinisial IWAS yang merupakan seorang penyandang disabilitas tunadaksa.

“Jadi, tersangka IWAS ini berstatus tahanan rumah, habis hari ini, nanti kami perpanjang,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB Kombes Pol. Syarif Hidayat di Mataram, Selasa.

Dengan menyampaikan hal tersebut, penyidik akan memperpanjang penahanan tersangka IWAS yang berstatus tahanan rumah untuk jangka waktu 40 hari ke depan.

Perihal perkembangan penanganan kasus, Syarif menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu hasil penelitian berkas oleh jaksa.

Apabila berkas telah dinyatakan lengkap, dia memastikan penyidikan akan segera menindaklanjuti dengan melimpahkan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum.

Dia meyakinkan bahwa kasus IWAS yang kini masuk dalam penelitian berkas oleh jaksa tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan korban yang berstatus mahasiswi.

Dalam kasus tersebut, Syarif menyebutkan ada dua korban yang sudah memberikan keterangan dan menjadi kelengkapan berkas.

Selain itu, ada alat bukti lain berupa hasil visum korban, saksi dari rekan korban dan tersangka maupun pemilik sebuah penginapan.

Alat bukti juga dikuatkan dengan keterangan ahli psikologi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Dalam berkas, penyidik turut menguraikan modus tersangka IWAS sebagai penyandang disabilitas tunadaksa dalam melakukan perbuatan pidana asusila terhadap korban. Modus tersebut dilakukan dengan mengandalkan komunikasi verbal yang dapat mempengaruhi sikap dan psikologi korban.

Sehingga dalam berkas, penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).



Sumber : Liputan 6