Jakarta
–
Dari dalam bajaj biru dengan atap kendaraan berwarna krem cerah, Mulyono (60), memanggil para pengunjung Pasar Senen Blok III yang baru saja keluar dari gedung untuk menggunakan layanan transportasinya. Di dekat kawasan itu dirinya sudah lebih dari 20 tahun narik bajaj demi menyambung hidup.
Saat lama belum mendapat penumpang, sesekali ia turun dari bajaj yang dikendarainya sembari membakar rokok untuk melepas suntuk. Dari panas terik hingga berubah jadi rintik hujan siang itu, dengan wajah penuh harap Mulyono tetap menawarkan para pengunjung Pasar Senen agar mau jadi penumpangnya.
“Mangkal di sini kan belum tentu kita (bisa langsung dapat penumpang), namanya juga cari rezeki kan kadang-kadang kalau lagi lumayan Alhamdulillah,” katanya sembari menghisap sepuntung rokok di tengah ramainya kendaraan yang melintas di depan pintu masuk Pasar Senen Blok III, Kamis (4/7/2024).
Dalam sehari, dari mangkal di depan Pasar Senen ia mengaku biasa mengantongi penghasilan sekitar Rp 150-200 ribu. Namun, sebagian pendapatannya itu masih harus dibagi lagi dengan juragan si pemilik asli bajaj yang dikendarainya.
Per harinya Mulyono harus menyetorkan Rp 80 ribu kepada juragan bajaj yang berlokasi di Kemayoran, kemudian ada juga ongkos bahan bakar kurang lebih sekitar Rp 25-30 ribu. Artinya untuk seharian narik bajaj ia harus menyiapkan modal Rp 105-110 ribu.
Dengan asumsi itu benar saja Mulyono hanya bisa mengantongi Rp 40-90 ribu per hari, yang artinya kalau tarikan sedang sepi atau ia kurang semangat dalam mencari penumpang, ia mungkin tidak bisa menghasilkan banyak keuntungan selain cukup untuk makannya hari itu.
“Kalau lagi malas mangkalnya yang paling cuma cukup buat makan saja, seratus-seratus (Rp 100 ribuan) sehari mah dapat saja,” ucapnya.
Menurutnya kondisi ini jauh berbeda sebelum aplikasi ojek online banyak digunakan. Sebab saat itu belum ada pilihan moda transportasi murah lain yang bisa mengantar para pengunjung Pasar Senen langsung ke tempat tujuannya.
Bahkan Mulyono mengaku pada masa itu tidak banyak sopir bajaj yang bisa mangkal di dekat Pasar Senen. Bukan karena apa-apa, tidak lama setelah sopir bajaj sampai untuk mangkal, para penumpang sudah datang dan meminta untuk diantar segera.
Di masa kejayaan para sopir bajaj ini, ia bisa narik belasan penumpang dengan mudah. Membuatnya pria yang juga akrab disapa sebagai ‘bang Jeger’ ini bisa mendapat sekitar Rp 500 ribu per hari.
“Sekarang kebanyakan sih (penumpang menggunakan ojek) online, ya kita kalahnya di situ lah. Tapi ada aja lah (penumpang), memang Yang Kuasa yang kasih rezeki mah,” sebut Mulyono.
Sementara itu, sopir bajaj lain bernama Husen (52) juga merasakan sulitnya cari penumpang sekarang ini. Ia yang biasa mangkal di dekat Stasiun Manggarai juga harus secara aktif menawarkan masyarakat yang lalu lalang keluar dari stasiun untuk menggunakan jasanya itu.
Sembari minum kopi dan membakar rokok, Husen kerap menyapa orang-orang yang melintas dekat bajaj yang dikendarainya berharap mendapat penumpang. Di kawasan itu ia juga biasa mendapat sekitar Rp 100-150 ribu per hari.
Untuk biaya bahan bakar, Husen juga perlu mengeluarkan sekitar Rp 25 ribu untuk seharian narik bajaj. Namun untuk biaya setoran, ia hanya perlu membayar sekitar Rp 50 ribu per hari atau Rp 30 ribu lebih murah dari Mulyono.
Dengan begitu ia hanya bisa mengantongi Rp 25-75 ribu per hari, sering kali hanya cukup untuk diri sendiri (dari makan sampai rokok), namun tidak cukup untuk keluarga di rumah. Karenanya tak heran jika Husen merasa nasib para tukang bajaj kini bagai mati suri, hidup segan tapi mati tak mau.
“Hidup segan mati nggak mau, narik bajaj sekarang susah. Ya dapat sih duit, bangsa cepe-cepe (Rp 100 ribuan) mah dapat. Itu sudah setora, paling lebihnya Rp 50 ribu, kalau nggak Rp 30 ribu,” papar Husen.
Husen yang juga sudah narik bajaj saat masih berwarna orange (sejak awal tahun 2000an) merasa kondisi saat ini sangat berbeda saat transportasi online belum menjamur di RI. Di mana saat itu ia bisa dengan mudah mendapatkan cuan dua kali lipat dari yang diterimanya saat ini.
Kurang lebih senasib dengan para sopir bajaj di Pasar Senen dan Stasiun Manggarai, sehari-hari Ahyar (65) yang biasa mangkal di dekat Pasar Tanah Abang juga kurang lebih mendapat Rp 100 ribuan per hari.
Ia yang merupakan pensiunan sopir taksi juga perlu membayar ongkos setoran sebesar Rp 50 ribu dan biaya bahan bakar Rp 25 ribu sehari. Dari sana ia bisa membawa pulang penghasilan bersih setidaknya Rp 20 ribu per hari.
Namun berbeda dengan mereka yang mangkal di Pasar Senen dan Stasiun Manggarai, sopir-sopir bajaj yang mangkal di dekat Pasar Tanah Abang harus membayar ‘ongkos ngetem’ alias jatah untuk warga sekitar. Kondisi ini tentu membuat para sopir yang penghasilannya pas-pasan semakin kecil.
“Di sini (belakang Pasar Tanah Abang Blok B dekat Central Tanah Abang) baru datang sudah diminta Rp 5 ribu buat bisa mangkal. Nanti narik penumpang bayar lagi Rp 2 ribu,” ucapnya dengan suara pelan dan sedih.
(rrd/rir)