Jakarta
–
Rencana pemerintah menerapkan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) membuat heboh di kalangan para pekerja. Pekerja disebut-sebut akan dibebankan Tapera sebesar 3% dari gaji ditambah dengan beban iuran lainnya.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional, Bima Haria Wibisana mengatakan, pemerintah punya pekerjaan rumah (PR) besar untuk melakukan sosialisasi dan membuat ASN serta masyarakat luas memahami tata kelola dan pemanfaatan Tapera. Kondisi ketidakpahaman inilah yang menurutnya membuat masyarakat kemarin heboh.
“Nah yang ribut ketika Tapera ini juga bukan hanya untuk ASN tetapi untuk masyarakat umum, untuk pekerja umum, pekerja swasta. 3 % itu mungkin dianggap besar dari gaji. Karena potongannya, kita sudah potong macam-macam nih, potong BPJS TK, sekarang potong lagi Tapera,” kata Bima, dalam acara sambutannya di acara Sosialisasi bersama Bakohumas Kementerian Lembaga, Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (3/10/2024).
Bima sendiri mengharapkan agar implementasi kebijakan ini nantinya mengedepankan keadilan dan transparansi. Apalagi mengingat ASN telah memiliki pengalaman buruk dengan sejumlah kewajiban iuran bulanan, ditambah lagi iuran tersebut akan diperluas dan dibebankan ke masyarakat umum.
“Teman-teman ASN ini sudah trauma dengan Askes dan Taspen mau diambil oleh BPJS TK itu. Jadi, mereka tidak ingin ini yang ketiga kalinya terjadi seperti itu,” ujarnya.
ASN sendiri telah dikenakan sejumlah iuran yang dipotong dari gaji bulanannya, mulai dari BPJS Kesehatan hingga Tabungan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen). Adapun BPJS Kesehatan ini merupakan transformasi, dari yang semula iuran Asuransi Kesehatan (Askes).
Untuk Askes sendiri, Bima mengatakan bahwa sejak 1984 hingga 2014 ASN dikenakan iuran 2% gaji. Askes ini mengelola kebutuhan setidaknya untuk 16 juta orang, termasuk ASN dan keluarganya. Namun terjadi penurunan layanan saat transformasi ke BPJS Kesehatan, yang diperluas menjadi pelayanan umum.
“BPJS Kesehatan harus melayani 170 juta orang. Dibandingkan dengan dulu 16 juta orang dengan fasilitas kesehatan yang sama. Jadi bayangkan, jika ada seorang pensiunan yang sakit, parah, harus antri berjam-jam sebelum mendapatkan pelayanan. Itu komplainya dari seluruh Indonesia. Sampai sekarang, dia masih begitu-begitu saja. Ini membuat trauma sebetulnya,” katanya.
Berangkat dari kejadian ini, Korpri pun akhirnya mengambil langkah tegas menolak rencana transformasi Taspen ke BPJS Ketenagakerjaan (TK). Namun di balik itu, ada masalah lain. Pemerintah menanggung beban pembayaran program pensiun dan THT Pegawai Negeri Sipil (PNS). Iuran ini tidak dibayarkan pemerintah sehingga timbul utang.
Pembayaran manfaat setiap tahun juga semakin meningkat sehingga besaran unfunded past service liability (UPSL) yang menjadi tanggungan pemerintah dalam program hari tua PNS juga naik. Bima mengatakan, saat ini utang Taspen tersebut pun belum rampung dibayarkan.
“Kalau dari awal tahun 60-an, menghitung, itu mungkin ratusan triliun. Tapi kemudian, akhirnya negosiasi. Ya, masih ada saja, masih dibayarkan saja pensiunannya. Nah itu, dihitung dengan bunga aktuaria, ada sekitar Rp 25 triliun dalam bentuk UPSL, yang sampai sekarang belum dibayar juga. Nah, jadi trauma lagi untuk ASN,” kata dia.
Berikutnya, para ASN juga sempat dikenakan potongan untuk iuran perumahan di bawah kelolaan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum). Potongannya diberlakukan per golongan dengan rentang Rp 3.000. s.d Rp 10.000.
“Kita selalu usulkan sebetulnya proses bisnis di dalamnya, transparansinya juga. Karena kemudian ketahuan bahwa uang Bapertarum itu dipakai, didepositokan di Kementerian Keuangan tanpa bunga. Jadi, temuan BPK bertahun-tahun. Nah, sekarang aman. Tapi kan dulu itu temuan, temuan BPK,” ujar Bima.
Karena latar belakang pengalaman ini, ketika muncul wacana Bapertarum akan transformasi menjadi BP Tapera, pihaknya bersuara cukup keras. Dikhawatirkan akan terjadi kejadian serupa.
“Bagaimana mungkin Tapera ini bisa akan memuaskan orang banyak, kalau ASN saja tidak puas? Nah, jadi ini pekerjaan luar biasa, pekerjaan luar biasa besar. Yang ASN saja tidak begitu percaya, apalagi publik,” kata dia.
(shc/kil)