Jakarta
–
Pemerintah mau menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai tahun 2025. Tarif PPN bakal naik dari 11% menjadi 12%. Namun, wacana ini banyak ditolak masyarakat, bayang-bayang kenaikan harga dan penurunan daya beli jadi kekhawatiran utama.
Di sisi lain, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12% berlaku 1 Januari 2025 termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 atau UU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan PPN diharapkan dapat menambah penerimaan negara, Kementerian Keuangan sendiri memprediksi ada Rp 75 triliun potensi penerimaan negara saat PPN naik jadi 12%.
Di sisi lain, pemerintah Presiden Prabowo Subianto disebut masih bisa memaksimalkan penerimaan pajak di sektor lain. Bahkan, potensi penerimaannya akan jauh lebih besar.
“Pemerintah sejatinya masih punya banyak sekali cara lain meningkatkan potensi pajak dengan pendekatan yang lebih progresif,” ungkap laporan Center of Economic and Law Studies (Celios), Rabu (25/12/2024).
Daripada menaikkan PPN, pemerintah seharusnya bisa menerapkan pajak orang kaya yang menyasar pada harta-harta orang kaya di Indonesia. Kemungkinan dari penerapannya negara bisa mengorek pendapatan senilai Rp 81,6 triliun.
Kemudian, ada juga instrumen pajak baru berupa pajak karbon. Selama ini wacananya pajak karbon sudah hampir siap untuk dipungut di Indonesia. Seharusnya pemerintah bisa mengoptimalkannya karena memiliki potensi penerimaan hingga Rp 69 triliun.
Pemerintah juga bisa mengambil pajak windfall profit dari berbagai usaha yang komoditasnya mengalami kenaikan harga. Misalnya saja, untuk produksi batu bara saja potensinya mencapai Rp 47 triliun.
Penerapan pajak penghasilan (PPh) Badan yang lebih progresif juga bisa dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan. Di sisi lain pemerintah juga seharusnya dapat menutup kebocoran pajak pada sektor digital, maupun kebocoran dari pajak sawit yang diklaim mencapai Rp 300 triliun.
“Penerapan pajak dan langkah-langkah tersebut jauh lebih adil dan tidak secara langsung membebani masyarakat kecil,” tulis laporan Celios.
Dalam laporan Celios yang lain, Direktur Hukum Celios Mhd Zakiul Fikri pun mengatakan pemerintah seharusnya bisa mengevaluasi dan membatalkan kenaikan PPN. Salah satu jalan pintasnya adalah mendorong inisiasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap perintah kenaikan PPN dalam UU HPP oleh Presiden Prabowo Subianto.
Toh, dia menilai selama ini keberadaan Perppu dalam politik regulasi Indonesia selama 10 tahun terakhir bukan merupakan hal yang langka.
“Semasa pemerintahan Presiden sebelumnya, 8 jenis Perppu dengan berbagai alasan mendesak yang berbeda telah diterbitkan,” ujar Zakiul.
(hal/rrd)