Jakarta
–
Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan tingkat pengeluaran kelas menengah semakin banyak. Alhasil kantong mereka yang masuk kalangan kelas menengah mau tidak mau jebol.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pengeluaran tersebut antara lain untuk pajak/iuran, barang/jasa lainnya seperti tarif listrik, pendidikan, perumahan, keperluan pesta dan makanan.
“Untuk kelas menengah itu ada pertambahan sedikit dari keperluan pesta dan barang jasa lainnya itu penambahan sedikit dari 6,04% menjadi 6,48%. Nah inilah kira-kira bagaimana perbedaan pola konsumsi dari lima tahun yang lalu dibandingkan dengan tahun 2024,” kata Amalia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (30/8/2024).
Sementara itu, kelompok pengeluaran kelas menengah yang mengalami penurunan yakni untuk hiburan, kendaraan, barang tahan lama, pakaian dan kesehatan.
“Proporsi pengeluaran untuk hiburan agak menurun, untuk kendaraan juga agak menurun,” jelas Amalia.
Amalia menjelaskan kelompok pengeluaran prioritas kelas menengah umumnya yakni untuk makanan, perumahan dan barang jasa lainnya. Ketiga pengeluaran tersebut memiliki proporsi masing-masing 41,67%, 28,52% dan 6,48%.
“Kalau kita perhatikan semakin rendah kategori kelas masyarakat, semakin besar proporsi konsumsi atau proporsi pengeluaran untuk makanan. Jadi semakin tinggi kelas masyarakatnya, kelompok kelas masyarakatnya, semakin kecil proporsi untuk pengeluaran makanan,” imbuhnya.
Kelas menengah turun kasta
Selain itu Amalia memaparkan penurunan jumlah kelas menengah hingga 9,48 juta dalam periode 2019-2024. Hal ini menjadi ancaman serius bagi laju perekonomian.
Pasalnya kelas menengah menjadi penyumbang utama konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Kontribusiya mencapai 81,49%.
“Kelas menengah dan aspiring middle class memberikan kontribusi terhadap konsumsi rumah tangga total sebesar 81,49%, kontribusinya besar. Ini impact-nya pasti terhadap PDB dari segi konsumsi rumah tangga karena hampir memberikan 82% dari total konsumsi rumah tangga,” terang Amalia.
Berdasarkan data BPS, jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 47,85 juta jiwa pada 2024 atau setara dengan 17,13% proporsi masyarakat di Tanah Air. Jumlah itu menurun dibandingkan 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa atau setara 21,45% dari total penduduk. Artinya terjadi penurunan sebanyak 9,48 juta jiwa.
Menurut Amalia, keberadaan kelas menengah penting karena sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Jika bantalannya menipis, maka perekonomian akan kurang mampu tahan terhadap guncangan.
“Saat bantalannya tebal, maka ekonomi suatu negara relatif tidak rentan terhadap gejolak atau shock yang datang baik dari eksternal maupun dari domestik. Tapi ketika proporsi kelas menengah relatif tipis, maka suatu perekonomian kurang resilient nantinya terhadap goncangan,” ucapnya.
Penguatan daya beli dinilai perlu untuk memperkuat fondasi ekonomi. Tidak hanya penguatan daya beli pada kelompok miskin, melainkan juga terhadap kelas menengah dan menuju kelas menengah.
“Karena jumlahnya mencakup 66,35% total penduduk dan nilai konsumsi pengeluarannya mencakup 81,49% dari total konsumsi masyarakat,” ucapnya.
(aid/hns)