Jakarta
–
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo sempat beradu argumen terkait penetapan asumsi nilai tukar rupiah dan suku bunga SBN 10 tahun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Adu argumen itu terjadi sebelum akhirnya pemerintah dan Komisi XI DPR RI bersepakat bahwa asumsi kurs diubah dari sebelumnya dalam nota keuangan dan RAPBN 2025 sebesar Rp 16.100 menjadi Rp 16.000/US$. Sedangkan suku bunga SBN 10 tahun dari 7,1% menjadi 7%.
“Kami sudah berunding dan kelihatannya kita menuju kesepakatan di angka Rp 16.000 dan 7% (untuk suku bunga SBN 10 tahun),” kata Ketua Komisi XI DPR RI Kahar Muzakir dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah, Rabu (28/8/2024).
Awalnya Perry menyebut fundamental nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2025 akan berada pada kisaran Rp 15.300-Rp 15.700. Hanya saja angka itu belum mempertimbangkan risiko tekanan ekonomi global yang mungkin saja terjadi di tahun depan.
“Untuk 2025 sesuai kondisi fundamental, kisaran rata-rata nilai tukar Rp 15.300-Rp 15.700. Tentu saja ini dengan asumsi tidak ada kondisi geopolitik yang kemudian memburuk atau kondisi-kondisi lain yang bisa memberikan tekanan-tekanan pada nilai tukar di tahun depan,” ucap Perry.
Jika mempertimbangkan faktor risiko, kata Perry, logisnya sikap kehati-hatian pemerintah hanya menambahkan sekitar Rp 200 poin dalam RAPBN 2025, sehingga level asumsi kurs di kisaran Rp 15.900.
“Ditambah Rp 200 sudah hati-hati, atau ditambah Rp 100 sudah hati-hati, tapi kalau ditambah Rp 400 menjadi Rp 16.100 berarti kan terlalu berhati-hati. Ya kesimpulannya kalau ditambah Rp 200 dari Rp 15.700 itu tambahan untuk kehati-hatian mungkin masih make sense. Tapi ini pandangan kami ya, tentu dikembalikan ke pemerintah dan DPR,” ucap Perry.
Setelah Perry memaparkan, Sri Mulyani menyebut pemerintah dalam menetapkan di level atas Rp 16.000 itu mempertimbangkan kondisi defisit transaksi berjalan yang berpotensi membengkak ke depannya, di samping ukuran cadangan devisa yang tercatat di BI.
“Kalau kita bicara BoP (Balance of Payment) hampir semua proyeksi tentang CAD lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya dan CAD tidak berbalik semalam pak, nggak akan bisa berbalik dalam semalam. Itu yang sebabkan kami ekstra hati-hati,” ujar Sri Mulyani.
“Karena kalau growth-nya makin tinggi, kita nggak pakai strategi bagus kadang-kadang current account-nya itu bisa defisit tinggi dan itu bisa langsung kena ke exchange rate, dan yang kedua cadev atau dari sisi fiskalnya sendiri. Kan ini fiskalnya kan defisitnya agak tinggi 2,5% dibanding tahun. Ini jadi saya anggap bantalan,” tegasnya.
(aid/rir)