Jakarta
–
BBM bersubsidi di Indonesia lebih banyak dinikmati oleh pengguna mobil dibandingkan motor. Hal ini diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin.
Rachmat mengatakan, pengguna mobil bisa menerima subsidi BBM 4,3-13,1 kali lebih besar dibanding pengendara motor. Apalagi jika mobil tersebut menggunakan mesin diesel dan mengonsumsi solar yang nilai subsidinya lebih besar daripada bensin.
“Nah, kasar-kasarnya bensin Rp 1.800 (subsidi), Rp 2.000-an lah. Solar Rp 7.700-an, Rp 8.000, empat kali lipat. Kalau orang naik motor, kita anggap dengan pola pemakaian tertentu dapat (subsidi) Rp 1 ya, karena kan dia pakai berapa liter, dapat subsidi berapa kita normalize dia Rp 1,” katanya dalam Media Workshop di Jakarta Pusat, Senin (5/8/2024).
“Kalau orang naik Agya, dia sama isi Pertalite, itu dapat Rp 4. Kalau naik Innova bisa dapat Rp 5. Berarti orang yang naik motor kita kasih 1 per 5 orang yang naik Innova, itu satu hal. Aneh kan, harusnya yang naik Innova dapat lebih sedikit atau malah nggak dapat,” tambah dia.
Rachmat menegaskan bahwa subsidi diberikan untuk menjaga daya beli kelompok yang kurang mampu. Ia juga menyoroti mobil diesel yang justru bisa menikmati subsidi lebih besar.
“Yang menarik lagi kalau dia diesel, karena dia lebih gede. Walaupun dia lebih hemat, asumsinya 30% lebih hemat, dia bisa dapat 11 sampai 13. Padahal nggak ada mobil diesel yang LCGC. Mobil diesel mau beli yang mana, Pajero Sport, Fortuner, Land Cruiser. Nggak ada Agya diesel kan. Jadi orang yang naik itu dapat 11 sampai 13, itu yang terus terang mengusik rasa keadilan,” ujarnya.
Di sisi lain, Rachmat juga sepakat bahwa kualitas BBM Indonesia harus disesuaikan ke standar yang lebih tinggi. Lalu, pemerintah terus menggenjot ekosistem kendaraan listrik.
Meski begitu, Rachmat menyebut kebutuhan BBM masih akan tetap tinggi hingga 2040 sebelum akhirnya menurun. Pasalnya penjualan kendaraan listrik saat ini masih dalam tahap merangkak naik.
“Kita pernah run simulation, walaupun kita sudah sangat agresif naikin, sampai 2040 kebutuhan BBM akan masih naik terus baru dia turun, karena kecil kan penjualannya, market share EV masih merangkak naik kan. Tahun lalu bisa 1,7%, tahun ini mungkin bisa 5% kali,” tuturnya.
Kalau penjualan kendaraan listrik bisa menyentuh 50% pada 2030, populasinya masih lebih kecil dibanding mobil konvensional, atau masih sekitar 10%. Di sisi lain, pemerintah juga tetap bertugas menaikkan kualitas BBM Indonesia.
“Tapi isunya adalah pakai uangnya siapa? Tentu pakai uang pemerintah. Tapi kalau pakai uang pemerintah, apakah pantas yang tadi, yang mewah-mewah tadi masih dapat berkali-kali lipat dibanding temen-temen yang lebih membutuhkan, yang pakai mobil kecil, pakai kendaraan umum,” pungkasnya.
(ily/ara)