WNA China Jadi Tersangka Tambang Ilegal di Ketapan, Ratusan Kg Emas Lenyap


Jakarta

Sejumlah tersangka dalam kasus tambang ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat telah ditetapkan, termasuk di antaranya WNA China. Dari kasus ini, negara mengalami rugi dari hilangnya cadangan emas dan perak sebanyak ratusan kilogram.

Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara telah menyelesaikan penyidikan terhadap tersangka YH, WNA China dan lain-lain yang melakukan kegiatan pertambangan bijih emas tanpa izin di lokasi wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tahapan penyidikan ini selesai dengan diterimanya berkas penyidikan dan dinyatakan lengkap oleh Jaksa Pidana Umum (JPU) di Jakarta.

Tahap selanjutnya PPNS Ditjen Minerba menyerahkan penahanan tersangka dan barang bukti pidana pertambangan kepada JPU Kejaksaan Negeri Ketapang yang didampingi JPU Kejaksaan Agung.

Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi mengapresiasi upaya PPNS Ditjen Minerba di bawah koordinasi dan pengawasan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri yang melaksanakan tugas penegakan hukum dengan baik.

“Upaya penegakan hukum ini menjadi pelajaran prestasi bersama dan ke depan perlu dilaksanakan di lokasi lainnya yang memerlukan penegakan hukum,” ujar Sunindyo dikutip dari laman Kementerian ESDM, Rabu (10/7/2024) kemarin.

Upaya yang dilakukan PPNS Ditjen Minerba dan tim ini juga didukung Kejaksaan Negeri Ketapang dan berjanji segera melimpahkan perkara ini untuk disidangkan.

“Kejaksaan Agung mendukung penegakan hukum yang dilakukan PPNS KESDM. Kejari Ketapang selanjutnya akan melimpahkan perkara ini ke pengadilan untuk segera disidangkan dan mendapatkan kepastian hukum,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Ketapang Anthoni Nainggolan.

Perwira Urusan Subbagian Penelitian Perkara, Bagian Pengawasan Penyidikan, Kompol Edi Kusyana menyatakan jika tim PPNS Ditjen Minerba menyelesaikan kasus ini bekerja sama dengan Biro Koordinator Pengawas (Korwas) PPNS Badan Resimen Kriminal (Bareskrim) Polri dan Kejaksaan Agung. Edi berharap kolaborasi ini dapat menjadi awal yang baik dalam mengungkapkan perkara-perkara penegakan hukum pertambangan mineral dan batubara.

Sebagai informasi, PPNS Ditjen Minerba telah melakukan serangkaian kegiatan Pengawasan, Pengamatan, Penelitian dan Pemeriksaan (Wasmatlitrik) di bawah koordinasi dan pengawasan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri menindaklanjuti pengaduan masyarakat terhadap dugaan kegiatan pertambangan bijih emas secara illegal dengan metode tambang dalam yang dilakukan di lokasi wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Di lokasi tambang dalam ini ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas antara lain pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, koli untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, exhaust/kipas hisap, bahan kimia penangkap emas, garam, kapur dan peralatan yang digunakan untuk menambang antara lain blasting machine, lower dozer, dumptruck listrik dan lori.

Modus yang digunakan dalam tindak pidana ini adalah memanfaatkan lubang tambang dalam (tunnel) yang masih dalam masa pemeliharaan di WIUP dengan alasan kegiatan pemeliharaan dan perawatan, namun pelaksanaan kegiatan di tunnel yaitu melaksanakan blasting/pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas di lokasi tersebut (di dalam tunnel). Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.

Dalam kasus ini, tersangka YH berperan sebagai pimpinan penambangan di bawah tanah (underground mining) di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampaim Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada kurun waktu bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2024. Kegiatan penambangan tanpa izin ini mengakibatkan kerugian negara atas hilangnya cadangan emas dan perak sebesar lebih kurang 774.200 gram atau 774,2 kg dan cadangan perak lebih kurang 937.700 gram atau 937,7 kg.

Sesuai Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, tersangka terancam hukuman kurungan pidana selama-lamanya 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar. Perkara ini akan dikembangkan lebih lanjut secara paralel, bersamaan dengan tindak lanjut kasus oleh Kejaksaan Negeri Ketapang.

(acd/rrd)

Sumber : Detik Finance