Jakarta
–
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, listrik menjadi tantangan dalam pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter). Listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batu bara yang menghasilkan emisi gas buang cukup besar.
“Di Sulawesi sendiri, smelter yang ada disini, mengkonsumsi kurang lebih 20 GW, dan itu didominasi dari batubara, jadi kalau dihitung emisi karbonnya ini sekian juta ton, nah ini tentu saja akan menjadi satu tantangan ya buat industri-industri smelter yang ada di sini,” ungkapnya dikutip dari laman Kementerian ESDM, Jumat (5/7/2024).
Tak cuma itu, Arifin mengatakan, tantangan industri smelter ialah saat ini dunia menuntut produk-produk yang merupakan hasil dari pemanfaatan energi bersih. Negara-negara Eropa bahkan sudah mulai menerapkan Cross Border Carbon Mechanism.
“Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut Cross Border Carbon Mechanism, nanti di situ ada masalah perpajakan emisi gas CO2 ke depan,” imbuhnya.
Melalui penerapan Cross Border Carbon Mechanism, tambah Arifin, akan ada pengenaan pajak karbon sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif. Saat ini, pemerintah sedang menyusun rencana untuk bisa menyediakan tenaga listrik dengan energi yang memiliki emisi karbon yang rendah.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seperti prospek sumber gas di Blok Masela yang akan produksi pada 2030 dengan proyeksi sebanyak 10,5 juta ton LNG per tahun. Kemudian di Selat Makassar ada lapangan miliki ENI yang akan produksi pada 2027-2028, serta satu blok di Sumatera Bagian Utara, yakni Blok Andaman.
Potensi besar lain, jelas Arifin, adalah energi matahari di Indonesia dan angin. Namun, potensi tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena terbatas industri pendukungnya. Potensi lain yang belum dimaksimalkan adalah potensi hidro yang berlokasi di Kalimantan Utara dan Papua.Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, maka produk-produk yang dihasilkan berasal dari energi yang rendah emisi sehingga harganya bisa kompetitif.
“Tentu saja itu bisa menjadi peluang besar yang bisa ditangkap oleh industri, bagaimana kita itu bisa menyiapkan produk-produk yang didukung oleh energi bersih untuk bisa bersaing secara global. Produk kita pun juga tidak tergantung kepada satu pasar yang belum menerapkan Cross Border Carbon Mechanism, karena produknya sudah standar internasional dan kompetitif,” tutupnya.
(acd/ara)