Jakarta
–
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam tren melemah. Nilai tukar Rupiah tercatat berada di level Rp 16.400-an dan sudah melemah 5,92% dari level akhir Desember 2023.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede pelemahan Rupiah dipengaruhi faktor global dan domestik. Terkait di dalam negeri, ada sentimen negatif terkait isu bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang hingga 50% dari produk domestik bruto (PDB).
“Selain dari faktor global, pelemahan rupiah juga dipengaruhi pemberitaan dari salah satu kantor berita asing terkait kenaikan rasio utang pemerintah berikutnya meskipun belum dapat bisa dikonfirmasi sumbernya,” ujar Josua dalam keterangan tertulis, Jumat (21/6/2024).
Kebijakan belanja pemerintah ke depan dikhawatirkan cenderung lebih ekspansif pada masa pemerintahan mendatang, sehingga defisit cenderung akan meningkat tajam.
“Kekhawatiran ini juga terefleksi dari kenaikan yield obligasi 10 tahun sebesar 21 bps ke level 7,13%,” tutur Josua.
Hal senada juga disampaikan Analis DCFX Futures Lukman Leong. Selain karena ketidakpastian arah penurunan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate, pelemahan rupiah dipicu investor khawatir bahwa pemerintahan mendatang akan meningkatkan defisit anggaran.
“Sentimen domestik masih condong negatif. Investor juga mengantisipasi apabila BI sudah tidak akan kembali menaikkan suku bunga. Investor juga khawatir pemerintahan baru ke depannya akan meningkatkan pengeluaran sehingga terjadi kenaikan pada defisit anggaran,” tutur Lukman.
Pernyataan Gubernur Bank Indonesia
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah karena masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Selain itu, dari sisi domestik ada persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.
“Di samping korporasi demand tinggi untuk dividen repatriasi, muncul persepsi. Persepsi belum tentu benar lho, jangan diyakini kalau persepsi. Persepsi akan stimulus fiskal ke depan, ini persepsi,” ucap Perry dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (20/6).
“Dari bulan ke depan ada berita-berita yang kita sebut faktor sentimen, premi risiko, ketidakpastian, seperti itu. Itu adalah faktor-faktor yang tidak mempengaruhi tren, tapi naik turunnya nilai tukar,” kata Perry.
Tim Prabowo Bantah Mau Naikkan Rasio Utang
Sebelumnya sumber Bloomberg melaporkan bahwa Prabowo ingin meningkatkan rasio utang hingga 50%. Hal itu dilakukan untuk merealisasikan program-program pemerintahan baru.
Laporan itu dibantah Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran Bidang Keuangan, Thomas Djiwandono. Ia menyatakan bahwa Prabowo belum menetapkan target utang dan akan memenuhi batas hukum mengenai metrik fiskal.
“Kami sama sekali tidak membicarakan target utang terhadap PDB. Ini bukan rencana kebijakan formal,” kata Thomas yang juga keponakan Prabowo dikutip dari Reuters.
Prabowo sempat berujar Indonesia harus berani dalam mengambil utang asalkan untuk program pembangunan dan mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%. Meski begitu, ia memastikan tetap patuh terhadap batasan defisit anggaran.
“Penting untuk dicatat, itulah sebabnya Prabowo dan tim formalnya berbicara tentang kehati-hatian fiskal karena hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut,” tutur Thomas.
(aid/hns)