Liputan6.com, Jakarta – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% menuai pro dan kontra. Salah satunya dari PDI Perjuangan (PDIP) yang mengkritik kebijakan pemerintah tersebut.
Menanggapi hal itu, Koordinator Organisasi Relawan Tim 8 Prabowo-Gibran, Wignyo Prasetyo justru bertanya mengapa bak ‘Lempar Batu Sembunyi Tangan’.
“PDI Perjuangan ini kaya kata pepatah, ‘lempar batu sembunyi tangan’. Padahal mereka sebelum pemerintah Prabowo-Gibran ini Anggota Fraksi PDI Perjuangan sebagai Ketua Panja kenaikan PPN sebesar 12% itu,” kata Wignyo melalui keterangan diterima, Senin (23/12/2024).
Sebabai mantan mantan Aktivis 98, Wignyo berharal PDIP tidak berlebihan mengkritik pemerintah soal kenaikan PPN. Sebab, ada andil partai tersebut yang bersama menyetujui hingga aturan tersebut lahir.
“Setahu saya saat itu PDI Perjuangan bagian yan ikut menyetujui naiknya PPN 12 persen. Malah sekarang terbalik,” heran pria yang pernah menjadi tahanan politik di era Seoharto ini.
Jawaban PDIP Soal Kenaikan PPN 12%
Merespons hal terkait, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah ada inisiasi partainya di Senayan soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menurut dia, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).
“Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” kata Deddy saat dikonfirmasi terpisah.
Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Bangsa Indonesia dan kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja. Akan tetapi, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta kenaikan PPN menjadi 12% dikaji ulang penerapannya.
“Kondisi tersebut diantaranya; seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik,” ungkap Deddy.
“Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” imbuhnya.