Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Almuzzammil Yusuf, menyatakan PKS mendukung pernyataan Presiden Prabowo Subianto agar pemilihan kepala daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau tidak dipilih melalui pemilihan langsung di pemilihan kepala daerah (pilkada).
“PKS mendukung wacana pilkada melalui DPRD yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Sudah saatnya pelaksanaan pilkada langsung dievaluasi secara menyeluruh,” kata Muzzammil dalam keterangan tertulis, diterima Kamis (19/12/2024).
Menurut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini, dana besar negara yang dihabiskan untuk menghelat pilkada langsung bisa dialokasikan untuk berbagai program kesejahteraan rakyat. Dia menyebut, dalam beberapa pilkada serentak dari 2017, 2018, 2020, dan 2024 total anggaran yang dikucurkan menyentuh Rp80,65 triliun.
Muzzammil ingin agar dana besar tersebut bisa dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraaan rakyat, seperti membuka lebih banyak lapangan kerja, memberikan modal usaha, peningkatan infrastruktur jalan, membangun ruang kelas baru, hingga penambahan fasilitas kesehatan.
Lebih lanjut, Muzzammil menilai bahwa pilkada langsung membuka potensi adanya konflik dan polarisasi di tengah masyarakat serta terjadinya diskriminasi pembangunan.
“Kita saksikan pada sejumlah daerah, selama ini terjadi konflik dan polarisasi di tengah masyarakat dalam proses pilkada langsung. Selain itu, terjadi pula diskriminasi pembangunan, seperti suatu desa yang tidak banyak memilih kandidat yang menang biasanya tidak diprioritaskan pembangunannya,” ucap Muzzammil.
Dia memandang, kepala daerah dipilih DPRD dapat menghilangkan kecurangan yang kerap terjadi di pilkada langsung. Pasalnya, kata dia, dalam berbagai helatan pilkada selama ini, kecurangan terjadi karena penyalahgunaan anggaran, seperti politik uang, keberpihakan oknum aparat mendukung calon tertentu, hingga politisasi dana bansos.
“Jika pilkada dipilih melalui DPRD, berbagai kecurangan tersebut dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Bawaslu dapat bekerja sama dengan polisi, jaksa, dan KPK untuk memperketat pengawasan,” kata Muzzammil.
Muzzammil menilai pilkada melalui DPRD juga bagian dari proses demokratis yang sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Sila ke-4 Pancasila.
“Dengan demikian, pilkada melalui DPRD juga bagian dari proses yang demokratis serta implementasi dari demokrasi perwakilan sesuai sila ke-4 Pancasila. Meskipun dipilih di DPRD, landasan hikmah kebijaksanaan (etika dan moral) menjadi syarat multak pelaksanaannya,” kata Muzzammil.
PDIP Ingin Kedaulatan Langsung di Tangan Rakyat
Sementara itu, PDI Perjuangan (PDIP) tidak mau terburu-buru menyikapi keinginan Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). PDIP menegaskan akan lebih dulu melakukan kajian mendalam atas wacana tersebut.
“Soal pemilu dipilih DPRD, saya kira kami di PDI Perjuangan tidak akan terburu-buru,” ujar Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat malam (13/12/2024).
“Nanti kita periksa apakah memang usulan dari Presiden itu betul-betul bisa dilaksanakan dan mau dilaksanakan atau tidak,” imbuhnya.
Deddy menuturkan, pada prinsipnya PDIP menginginkan pemilihan umum digelar secara langsung, di mana kedaulatan diserahkan kepada rakyat.
“Tapi pada prinsipnya kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan di tangan rakyat. One man, one vote,” ucap Deddy.
Terkait dalih pilkada berbiaya tinggi yang melatarbelakangi wacana kepala daerah dipilih DPRD, menurut Deddy, tidak akan terjadi apabila partai politik memiliki basis dukungan di akar rumput yang kuat.
Anggota Komisi II DPR ini menilai, politik berbiaya tinggi terjadi karena ada pihak-pihak yang serakah mencari kekuasaan.
“Karena yang menaburkan uang itu kan memang dari elite politik sendiri, kan gitu. Partai-partai membangun basis dukungan di bawah pasti tidak perlu uang besar-besar, kan begitu logikanya,” kata Deddy.
Deddy mengatakan masih banyak cara lainnya untuk menurunkan tingginya biaya pilkada. Tinggal keseriusan pemerintah, mau atau tidak membuat pesta demokrasi berjalan jujur, adil dan sportif. Tidak ugal-ugalan seperti yang terjadi belakangan ini, kata Deddy.
Di sisi lain, menurutnya, PDIP akan melakukan kajian mendalam apabila revisi Undang-Undang Pilkada digulirkan.
“Bahkan kita sendiri sedang melakukan kajian terhadap pilkada asimetris, di mana daerah-daerah yang memang dengan seluruh indikator-indikatornya siap melaksanakan pemilu langsung. Misalnya, itu kan ada berbagai kajian, teori yang bisa dipakai untuk menentukan itu,” pungkasnya.
Kepala Daerah Dipilih DPRD, Perludem: Petinggi Partai Jadi yang Paling Diuntungkan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal mengatakan, alasan biaya politik tinggi sebagai dasar kepala daerah dipilih DPRD sangatlah tidak tepat.
Menurut dia, perubahan sistem pilkada harus dilandasi dengan kajian dan evaluasi atas pelaksanaan pilkada yang telah dilakukan sejak 2005.
“Biaya tinggi yang diklaim Pak Prabowo terjadi di pilkada menurut kami tidak disebabkan oleh sistem pemilunya, melainkan praktik-praktik politik transaksional seperti mahar politik dan politik uang yang sebenarnya telah dilarang di dalam Undang-undang Pilkada yang berlaku,” kata Haykal, saat dihubungi, Minggu (15/12/2024).
“Hanya saja, perlu diakui penegakan hukumnya masih belum maksimal dan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan,” sambungnya.
Oleh karena itu, Haykal menekankan yang perlu diperbaiki yakni sistem pencalonan dan kampanye pada pilkada. Bukan secara tiba-tiba ingin mengubah sistem yang terbuka tersebut menjadi sistem yang tertutup.
“Sebab, efek yang ditimbulkan dari diubahnya sistem pilkada secara langsung menjadi dipilih oleh DPR tidak hanya berpengaruh pada sistem pilkadanya. Melainkan juga berpengruh pada pelaksanaan kedaulatan rakyat, termasuk sistem pemerintahan dan otonomi daerah,” jelas dia.
Haykal menjelaskan, di negara dengan sistem presidensial, tidak dikenal suatu pemilihan pimpinan eksekutif dilakukan oleh lembaga legislatif. Jika pemilihan diubah maka akan mengacaukan pelaksanaan otonomi daerah yang bisa bergesar kepada sentralisasi seperti masa orde baru.
Kemudian, dia menyebut, jika sistem pemilihan gubernur dipilih melalui DPRD akan menimbulkan dampak buruk lain, yakni transaksi antar petinggi partai politik dengan DPRD.
“Dampak buruk lainnya adalah potensi terjadinya hegemoni partai politik untuk bertransaksi dalam proses pemilihan kepala daerah yang di lakukan melalui DPRD. Petinggi partai akan menjadi aktor yang paling ‘diuntungkan’ dan memiliki keputusan kuat dalam proses tersebut,” kata Haykal.